PROPOSAL PENELITIAN

PROPOSAL PENELITIAN


PROPOSAL PENELITIAN


INTERAKSI OBAT ANTI DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA PASIEN GERIATRI  RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT IMANUEL WAY HALIM BANDAR LAMPUNG PERIODE JULI-DESEMBER 2015






OLEH:
MARTIANUS PERANGIN – ANGIN.S.Farm.,Apt


 
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
JAWA TIMUR




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Berdasarkan hasil sensus proyeksi  penduduk Indonesia badan pusat statistik Provinsi Lampung tahun 2015, jumlah penduduk Lampung sebesar 8.117. 268 orang, yag terdiri dari 4.162.437 penduduk laki-laki dan 3.954.831 penduduk perempuan. Jika dikelompokkan berdasarkan umur, maka menurut data badan pusat statistik tahun 2015, penduduk Lampung terdiri dari usia muda (usia < 15 tahun) sebanyak 2.289.381 orang,  usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 5.494.572, dan  usia tua (≥ 65 tahun)sebanyak 412.866. Pada  usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat universal berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progresif, perubahan secara bertahap, akumulatif dan intrisik. Proses penuan menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai organ didalam tubuh seperti system gastrointestinal, system genitourea, system imunologis, system serebrovaskular, system saraf pusat dan sebagainya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2004). Oleh sebeb itu, penyakit pada populasi usia lanjut beerbeda perjalanan dan penampilanya dengan yang terdapat pada populasi lain, dimana penyakit bersifat multipatologik, degenerative, kronik, cenderung menyebabkan kecatatan lama sebelum terjadinya kematian dan dalam pengobatan sering terdapat polifarmasi. (Martono, 2009). Pada lanjut usia yang menderita lebih dari satu penyakit dan mendapat berbagai macam obat secara bersamaan merupakan kelompok yang rentan terhadap interaksi obat (Thanocody, 2012). Resiko interaksi obat meningkat sesuai dengan jumlah obat yang diresepkan dan pasien geriatri biasanya mendapatkan obat yang lebih banyak dibandingkan pasien usia lainya (Mallet et all, 2007).
Variasi farmakokinetik obat antara orang dewasa, bayi dan anak adalah faktor penting dalam penggunaan dan penentuan dosis obat agar diperoleh hasil yang efektif dan aman. Peninjauan peranan enzim CYP-450 yang metabolism
sebagian besar obat yang digunakan dalam terapi pasien geriatri perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan kliren obat yang diakibatkan oleh interaksi obat dengan penyakit atau obat dengan obat (Howrie, et al., 2008).
Interaksi obat adalah terjadinya perubahan efek suatu obat karena adanya pengaruh obat, herbal medisin, makanan, minuman atau agen kimia lain dalam lingkungan sistem (Baxter, 2008). Pemberian suatu obat (A) dapat mengubah aksi obat lain (B) dapat terjadi melalui dua mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. Selain itu ada katergori  lain yaitu
interakasi farmaseutik, yaitu interaksi yang terjadi secara in vitro yang dapat menyebabkan salah satu atau kedua obat  tidak aktif (Hashem, 2005).
Frekwensi dan prevalensi terjadinya interaksi tergantung pada jumlah medikasi yang diberikan secara bersamaan dan kompleksitas regimen pemberian. Prevalensi interaksi juga tergantung pada beberapa variabel lain seperti kepatuhan pasien, hidrasi dan status nutrisi, tingkat keparahan kerusakan ginjal dan hati, merokok dan penggunaan alkohol, dan genetik serta dosis obat (Bailie, et. al., 2004).
Berdasarkan tingkat keparahan/severitas, interaksi juga dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level yaitu minor, moderate, dan mayor. Suatu interaksi disebut keparahan minor jika interaksi mungkin terjadi  dan dipertimbangkan potensial membahayakan pasien jika terjadi kelalaian, dan disebut interaksi  keparahan moderate jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan diperlukan beberapa  intervensi/monitor . Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau menyebabkan lama tinggal di rumah sakit semakin panjang. Sedangkan interaksi keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi untuk membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan kerusakan permanen (Bailie, 2004).
Tidak semua interaksi obat bermakna secara signifikan, walaupun secara teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian, seorang farmasis perlu selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat untuk mencegah timbulnya risiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam pengobatan pasien (Rahmawati, 2006).
 Interaksi obat juga merupakan salah satu penyebab drug related problem (DRP). Ada tiga kemungkinan DRP lain yang dapat disebabkan oleh interaksi obat, diantaranya dosis terlalu rendah, reaksi obat merugikan dan dosis terlalu tinggi. DRP sendiri merupakan suatu masalah yang sangat mempengaruhi keberhasilan terapi pasien (Cipolle, et al., 2007).
 Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       apakah interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung terkait dengan jumlah obat?
b.      apakah interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung terkait dengan pasien?
c.       apakah interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung terkait dengan jumlah diagnosis?
d.      apa saja obat  ADM tipe 2 yang sering berinteraksi di bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung?
e.       apakah frekwensi interaksi obat ADM tipe 2  pada unit rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung tinggi?
f.       apa saja pola mekanisme interaksi obat ADM tipe 2  pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung?
g.      apa sajakah tingkat keparahan interaksi obat ADM tipe 2  pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung?
1.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis awal penelitian ini adalah:
a.       interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung tidak ada hubungan dengan jumlah obat.
b.      interaksi obat ADM tipe 2   pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung tidak ada hubungan dengan pasien.
c.      interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung tidak ada hubungan dengan jumlah diagnosis.
Hipotesa alternatifnya:
a.      interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung ada hubungan dengan jumlah obat.
b.      interaksi obat  ADM tipe 2  pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung ada hubungan dengan pasien.
c.      interaksi obat ADM tipe 2  pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung ada hubungan dengan jumlah diagnosis.
d.     Obat ADM tipe 2  yang sering berinteraksi pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung beragam jenisnya
e.      frekwensi interaksi obat-obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung tinggi.
f.       pola mekanisme interaksi obat  ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung beragam, diantaranya farmakokinetik, farmakodinamik, dan unknown.
g.      tingkat keparahan interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung beragam, diantaranya adalah mayor, moderate, dan low.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini untuk:
a.       mengetahui hubungan interaksi obat ADM tipe 2 dengan jumlah obat.
b.      mengetahui hubungan interaksi obat ADM tipe 2 dengan pasien.
c.        mengetahui hubungan interaksi obat ADM tipe 2 dengan jumlah diagnosis.
d.      mengetahui obat ADM tipe 2 yang sering berinteraksi pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung.
e.       mengetahui besarnya frekwensi interaksi obat ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung.
f.       Mengetahui pola mekanisme interaksi obat ADM tipe 2  pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung.
g.      Mengetahui tingkat keparahan interaksi obat  ADM tipe 2 pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung.
1.6 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a.    memberikan gambaran tentang interaksi obat ADM tipe 2  pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung.
b.    memberikan gambaran tentang obat ADM tipe 2  yang sering berinteraksi dan frekwensinya pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung.
c.    Memberikan gambaran tentang pola mekanisme dan tingkat keparahan interaksi obat ADM tipe 2  pada bagian rawat inap Geriatri RSIM Bandar Lampung.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1         Geriatri
2.1.1   Pengertian Geriatri
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa seha menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Setiati dkk, 2006). Constantinides (1994) mendefinisikan menua (= menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 2009).
Beberapa istilah lain yang perlu dikemukakan terkait dengan proses menua adalah gerontologi, geriatri dan longevity. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses menua dan semua aspek biologi, sosiologi dan sejarah, yang terkait dengan penuaan. Geriatri merujuk pada pemberian pelayanan kesehatan untuk usia lanjut. Geriatri merupakan cabang ilmu kedokteran yang mengobati
kondisi dan penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut. Pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multipatologi (penyakit ganda). Longevity merujuk pada lama hidup seorang individu (Setiati dkk, 2006).

2.1.2   Demografi Populasi Lanjut Usia (Darmojo, 2009)
Menurut UN-Population Division, Department of Economic and Social Affairs (1999) jumlah populasi lanjut usia (lansia) 60 tahun diperkirakan hampir mencapai 600 juta orang dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun 2050.
Menurut laporan data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan oleh Bureau of the Cencus USA (1993), dilaporkan bahwa Indonesia pada tahun 1990 2025 akan mempunyai kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414%, suatu angka paling tinggi di dunia.
Menurut WHO (1989) Pertambahan penduduk lansia di Indonesia dan Brazil diproyeksikan naik masing-masing melebihi 20 juta orang, sedang kenaikan kira-kira setengah jumlah tersebut terjadi masing-masing di Meksiko, Nigeria dan Pakistan. Indonesia diramalkan beranjak dari urutan ke-10 pada tahun 1980 menjadi urutan ke-5 atau 6 pada tahun 2020 sebagai negara yang banyak jumlah populasi lansianya.

2.1.3   Kesehatan Pada Pasien Geriatri (Darmojo, 2009)
Penyakit atau keluhan yang umum diderita oleh pasien geriatri adalah penyakit reumatik, hipertensi,                              penyakit jantung, penyakit paru (dyspnea/ bronchitis), diabetes melitus, jatuh (falls), paralisis/lumpuh separuh badan, TBC paru, patah tulang dan kanker.
Penyakit-penyakit yang diderita oleh pasien geriatri kebanyakan bersifat endogenik, multipel, kronik, bergejala atipik, tanpa mernyebabkan imunitas tetapi menjadi lebih rentan terhadap penyakit/komplikasi yang lain.

2.1.4   Perubahan Penting Pada Pasien Geriatri dalam Hubungannya dengan Obat
Pada pasien geriatri, berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistem tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Berbagai perubahan tersebut dalam istilah farmakologik dikenal sebagai perubahan dalam hal
farmakokinetik, farmakodinamik dan hal khusus lain yang mengubah perilaku obat di dalam tubuh (Martono dkk, 2009).
a.         Perubahan Farmakokinetik (Supartondo dan Roosheroe, 2006)
Farmakokinetik terdiri dari absorbsi distribusi, metabolisme dan ekskresi. Setelah diabsorbsi, obat melewati hati dan mengalami metabolisme pintas awal. Bila tahap ini menurun, sisa dosis obat yang masuk dalam darah dapat melebihi perkiraan dan mungkin menambah efek obat, bahkan sampai efek yang merugikan. Pada obat dengan metabolisme pintas awal yang tinggi ada perbedaan yang besar antara dosis intravena (rendah) dan dosis oral (tinggi).
Makanan dan obat lain dapat mempengaruhi absorbsi obat yang diberikan secara oral. Distribusi obat dipengaruhi oleh berat badan dan komposisi tubuh, yaitu cairan tubuh, massa otot, fungsi dan peredaran darah berbagai organ, juga organ yang mengatur ekskresi obat. Kadar albumin plasma memastikan kadar obat bebas dalam sirkulasi. Hal ini memerlukan pedoman menyesuaikan dosis obat dengan berat badan untuk meningkatkan rasio resiko pada pasien geriatri yang kurus. Metabolisme di hati dipengaruhi oleh umur, genotipe, gaya hidup, curah jantung, penyakit dan interaksi antar obat. Mengecilnya massa hati dan proses menua dapat mempengaruhi metabolisme obat. Untuk obat yang ekskresinya terutama melalui ginjal pedoman bersihan kreatinin 24 jam penting diperhatikan untuk memperkirakan dosis awal. Kadar kreatinin serum tidak menggambarkan fungsi ginjal karena massa otot berkurang pada proses menua. GFR (Glom. Filtr. Rate) lebih penting dan jika turun sampai 10-50 ml/menit, dosis obat harus disesuaikan.
b.    Perubahan Farmakodinamik (Martono dkk, 2009)
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat menimbulkan rentetan reaksi biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor sampai dengan efektor. Di dalam sel terjadi proses biokimiawi yang menghasilkan respon selular. Respon selular pada pasien geriatri secara keseluruhan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada mekanisme respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis.
Pada umumnya, obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimiawi selular intensitas pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis beta untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal dengan dosis yang lebih besar maka efek sampingnya akan lebih besar pula. Index terapi obat menurun. Sebaliknya obat-obat yang cara kerjanya menghambat proses biokimiawi seluler, pengaruhnya akan menjadi nyata sekali terlebih dengan mekanisme regulasi homeostasis yang melemah, efek farmakologi obat dapat sangat menonjol                 sehingga    toksik.   
Misalnya obat-obat antagonis beta, antikolinergik, antipsikotis, antiansietas dan lain-lain. Dengan demikian index terapi obatnya menurun, seolah terjadi peningkatan kepekaan farmakodinamik.
c.    Hal Khusus Lain (Supartondo dan Roosheroe, 2006)
Faktor lain yang berperan pada pemberian obat ialah multipatologi (adanya lebih dari satu penyakit) pada pasien geriatri.

2.1.5   Penggunaan Obat Secara Rasional Pada Pasien Geriatri (Martono dkk, 2009)
Pengobatan pada pasien geriatri perlu mendapatkan perhatian dokter dan tenaga kesehatan lainnya, mengingat beberapa hal berikut:
a.         Penyakit pada pasien geriatri cenderung terjadi pada banyak organ dan pasien cenderung mengunjungi banyak dokter, sehingga pemberian obat cenderung bersifat polifarmasi
b.         Polifarmasi menyangkut biaya yang besar untuk pembelian obat. Juga meningkatkan resiko lebih banyaknya kejadian interaksi obat, efek samping obat (ESO) dan reaksi sampingan yang merugikan.
c.         Proses menua yang fisiologis menyebabkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik obat, juga menurunkan fungsi dari berbagai organ, sehingga tingkat keamanan obat dan efektifitas obat berubah dibanding usia muda.

Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam peresepan obat:
a.         Diagnosis dan patofisiologi penyakit
b.         Kondisi tubuh/organ
c.         Farmakologi klinik obat

Menurut WHO (1995) tepat indikasi, tepat pasien, tepat dosis (cara dan lama pemberian) serta waspada ESO adalah lima kriteria pokok pemakaian obat secara rasional yang telah diterima secara mondial.

2.1.6   Polifarmasi Pada Pasien Geriatri (Supartondo dan Roosheroe, 2006; Thanacoody, 2012)
Ada beberapa definisi untuk istilah polifarmasi, diantaranya meresepkan obat melebihi indikasi klinis, pengobatan yang mencakup paling tidak satu obat yang tidak perlu dan penggunaan empirik lima obat atau lebih.
Polifarmasi pada pasien lanjut usia sukar dihindari dengan beberapa alasan, diantaranya:
a.         Banyaknya penyakit yang diderita oleh pasien geriatri dan biasanya merupakan penyakit kronis
b.         Obat yang dikonsumsi diresepkan oleh beberapa dokter
c.         Gejala yang dirasakan pasien tidak jelas
d.        Penambahan obat baru untuk menghilangkan efek samping obat.
Resiko terjadinya interaksi obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diresepkan. Pasien dengan penyakit kritis dan pasien geriatri beresiko tinggi untuk mengalami interaksi obat bukan hanya karena mengkonsumsi obat yang lebih banyak, tetapi juga karena adanya gangguan mekanisme homeostatik yang tidak memungkinnya untuk menetralkan beberapa efek yang tidak diinginkan.

2.2         Interaksi Obat
2.2.1 Pengertian
Interaksi obat yaitu situasi ketika suatu zat (biasanya obat lain) mempengaruhi aktivitas obat ketika keduanya diberikan secara bersamaan. Aktivitas tersebut bisa bersifat sinergis (efek obat meningkat) atau antagonis (efek obat berkurang) atau bisa menghasilkan efek baru. Interaksi dapat terjadi antara obat dengan obat, obat dengan makanan, dan obat dengan herbal (Anonimb, 2012).

2.2.2 Mekanisme Interaksi Obat
            Pemberian satu obat (A) dapat mengubah aksi obat lain (B) dapat terjadi melalui dua mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik (terjadi perubahan konsentrasi obat B yang mencapai tapak kerja reseptor) dan interaksi farmakodinamik (terjadi modifikasi efek farmakologis obat B tanpa mengubah konsentrasinya dalam cairan jaringan). Selain dua mekanisme tersebut masih ada yang disebut interaksi farmaseutik yaitu obat berinteraksi secara in vitro sehingga satu atau kedua obat tidak aktif. Tidak ada prinsip-prinsip farmakologi yang terlibat dalam interaksi farmaseutik, hanya reaksi secara atau kimia. Contohnya pembentukan kompleks antara thiopentone dan suxamethonium, oleh sebab itu kedua obat ini tidak boleh dicampur dalam alat suntik yang sama (Hashem, 2005).
2.2.2.1 Interaksi Farmakokinetik
            Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang dapat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi (Baxter, 2008). Perubahan ini pada dasarnya adalah terjadi modifikasi konsentrasi obat. Dalam hal ini dua obat bersifat homergic jika memiliki efek yang sama dalam organisme dan heterergic jika efeknya berbeda (Anonimb, 2012).


2.2.2.1.1 Interaksi Pada Level Absorpsi Obat
Absorpsi gastrointestinal diperlambat oleh obat yang menghambat pengosongan lambung, seperti atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat  (misalnya metoklopramid) yang mempercepat pengosongan lambung. Atau, obat A dapat berinteraksi dengan obat B dalam usus sedemikian rupa untuk menghambat penyerapan obat B (Hashem, 2005). Selain itu dapat juga terjadi karena dampak perubahan pH pencernaan, adsorpsi, khelasi dan mekanisme kompleks lainnya, perubahan motilitas gastrointestinal, induksi atau inhibisi protein transporter obat, dan malabsorpsi disebabkan oleh obat (Baxter, 2008).
Beberapa contoh interaksi absorpsi obat:
a.         Kalsium (dan juga besi) membentuk kompleks tak larut dengan tetrasiklin dan menghambat penyerapan obat,
b.         Kolestiramin, asam empedu mengikat resin digunakan untuk mengobati hiperkolesterolemia, mengikat beberapa obat (misalnya warfarin, digoksin) mencegah penyerapan jika diberikan secara bersamaan.
c.         Penambahan epinefrin pada suntikan bius lokal yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperlambat penyerapan obat bius, akibatnya memperpanjang efek lokal obat bius tersebut (Hashem, 2005).
2.4.2.1.2 Interaksi Pada Level Distribusi Obat
Mekanisme interaksi utama pada level distribusi adalah terjadinya kompetisi untuk berikatan dengan  protein plasma. Dalam kasus ini, obat yang tiba pertama berikatan dengan protein plasma akan meninggalkan obat lain yang larut dalam plasma, sehingga memodifikasi konsentrasi yang obat bebas. Situasi ini harus diperhitungkan jika ada masalah  yang hadir seperti ketika mempengaruhi metode ekskresi (Anonimb, 2012).  Perpindahan obat dari tapak pengikatan dalam plasma atau jaringan sementara dapat meningkatkan konsentrasi obat yang bebas, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatnya eliminasi sehingga hasil keadaan tetap mantap/setimbang (Hashem, 2005).
Distribusi obat ke dalam otak dan beberapa organ lainnya seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein aktif ini mengangkut obat keluar dari sel ketika obat telah secara pasif menyebar masuk ke dalam sel. Ada beberapa obat dapat menghambat transporter ini sehingga meningkatkan penyerapan obat (Baxter, 2008).
Beberapa contoh interaksi disitribusi obat:
a.         fenilbutazon menggantikan warfarin pada tapak ikat albumin dan yang lebih penting lagi ialah selektif menghambat metabolisme farmakologi aktif isomer S sehingga memperpanjang waktu protrombin  pendarahan dan meningkatkan pendarahan.
b.         Salisilat menggantikan metotreksat pada tapak ikat albumin dan mengurangi sekresinya ke dalam nefron.
c.         Quinidine dan beberapa obat lainnya termasuk antidisritmia verapamil dan amiodaron menggantikan digoksin pada tapak ikat-jaringan  sekaligus mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas digoxin (Hashem, 2005).

2.4.2.1.3 Interaksi Pada Level Metabolisme Obat
Interaksi pada Level Metabolisme terjadi karena metabolisme obat objek dirangsang atau dihambat oleh obat presipitasi.  Terikat dengan metabolisme ini ada dua hal penting. Pertama, diantara obat yang berinteraksi ada yang menginduksi enzim dan yang kedua ada yang menghambat aktivitas enzim.
a.         Induksi Enzim
Induksi enzim adalah perangsangan atau induksi enzim yang terjadi dalam retikulum endoplasik sel hati dan sitokrom P 450 (CYP) oleh obat tertentu, sehingga aktivitas metabolik bertambah. Akibatnya  metabolisme obat menjadi lebih aktif dan konsentrasi obat objek dalam plasma berkurang, sehingga efektivitasnya pun menurun.
b.        Inhibisi Enzim
Inhibisi enzim adalah apabila suatu obat menghambat metabolisme obat lain, sehingga memperpanjang atau meningkatkan aksi obat. Sebagai contoh, allopurinol mengurangi  produksi asam urat akibat hambatannya terhadap enzim santin oksidase, pada waktu yang sama metabolisme beberapa obat yang berpotensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin juga dihambat. Penghambatan santin oksidase secara bermakna meningkatkan efek obat-obat tsb. Sehingga jika diberikan bersama allopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus diturunkan sampai 1/3 atau ¼  dosis biasanya (Anonim, 2011).

2.4.2.1.4 Interaksi Pada Level Ekskresi Obat
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal disepanjang arteri renal, pertama kali akan dikirim ke glomeruli tubulusmo dan molekul-molekul kecil akan  melewati membran glomerulus (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah akan ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain tubulus ginjal sehingga  terjadi transport aktif yang memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi aktif di tubulus ginjal, perubahan pH, dan perubahan aliran darah ginjal  (Anonim, 2011).

2.2.2.2 Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik dapat terjadi dalam berbagai cara.. Berikut  ini beberapa interaksi yang perlu dipertimbangkan. Antagonis β-adrenoseptor mengurangi efektivitas agonis β-reseptor, seperti salbutamol atau terbutaline. Beberapa diuretik dapat menurunkan konsentrasi plasma kalium, sehingga meningkatkan efek digoksin dan menyebabkan risiko toksisitas glikosida tersebut. Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah norepinefrin yang disimpan dalam terminal saraf noradrenergik dan interaksinya dengan obat lain akan berbahaya, seperti efedrin atau tiramin yang bekerja melepaskan norepinefrin. Ini juga dapat terjadi dengan makanan kaya tiramin seperti keju hasil fermentasi misalnya keju Camembert. Warfarin bersaing dengan vitamin K, mencegah sintesis hepatik berbagai faktor koagulasi. Jika produksi vitamin K dalam usus dihambat (misalnya dengan antibiotik), aksi antikoagulan warfarin meningkat. Obat yang menyebabkan perdarahan dengan mekanisme yang berbeda (misalnya aspirin, yang menghambat biosintesis tromboksan A2 trombosit dan dapat merusak lambung) akan meningkatkan risiko perdarahan yang disebabkan oleh warfarin. Sulfonamid mencegah sintesis asam folat oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya; trimetoprim menghambat pengurangan untuk tetrahydrofolate. Jika diberikan bersama dengan obat yang memiliki aksi sinergis dalam mengobati Pneumocystis carinii. Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID), seperti ibuprofen atau indometasin, menghambat biosintesis prostaglandin, yang bersifat sebagai vasodilator ginjal / natriuretik prostaglandin (PGE2, diikuti PGI2). Jika diberikan kepada pasien yang menerima pengobatan untuk hipertensi, akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, dan jika diberikan kepada pasien yang menerima diuretik untuk gagal jantung kronis akan menyebabkan retensi garam dan air dan dekompensasi jantung. Antagonis reseptor H1, seperti mepiramin, sering menyebabkan rasa kantuk sebagai efek yang tidak diinginkan. Ini lebih parah jika obat tersebut diberi bersamaan dengan alkohol, dan dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja atau di jalan (Hashem, 2005).

2.3 Polifarmasi Pada Pasien Geriatri (Supartondo dan Roosheroe, 2006; Thanacoody, 2012)
Ada beberapa definisi untuk istilah polifarmasi  diantaranya meresepkan obat melebihi indikasi klinis, pengobatan yang mencakup paling tidak satu obat yang tidak perlu dan penggunaan empirik lima obat atau lebih.
Polifarmasi pada pasien lanjut usia sukar dihindari dengan beberapa alasan, diantaranya:
a.         Banyaknya penyakit yang diderita oleh pasien geriatri dan biasanya merupakan penyakit kronis
b.         Obat yang dikonsumsi diresepkan oleh beberapa dokter
c.         Gejala yang dirasakan pasien tidak jelas
d.        Penambahan obat baru untuk menghilangkan efek samping obat

Resiko terjadinya interaksi obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diresepkan. Pasien dengan penyakit kritis dan pasien geriatri beresiko tinggi untuk mengalami interaksi obat bukan hanya karena mengkonsumsi obat yang lebih banyak, tetapi juga karena adanya gangguan mekanisme homeostatik yang tidak memungkinnya untuk menetralkan beberapa efek yang tidak diinginkan.

2.4 Studi Retrospektif
Studi retrospektif adalah studi yang dilakukan setelah peristiwa yang diteliti  terjadi. Kedua eksposur dan hasil sudah terjadi pada awal penelitian (Strom dan Kimmel, 2006).





BAB III
METODE PENELITIAN
           
3.1 Desain Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen (survei) dilakukan secara retrospektif terhadap rekam medik pasien yang dirawat di bagian rawat inap geriatri RSIM Bandar Lampung. Prinsip penelitian ini adalah menghitung frekwensi interaksi obat-obat (secara teoritik), mempelajari hubungan antara variabel bebas (jumlah obat, pasien,dan jumlah diagnosis) dengan variabel terikat (interaksi obat), mempelajari pola mekanisme interaksi, jenis obat yang berinteraksi, dan tingkat keparahan interaksi. Untuk maksud tersebut dilakukan  melalui pengumpulan data lembar rekam medis pasien rawat inap Geriatrik RSIM Bandar Lampung, selama periode Juli - Desember 2015
 Hasil penelitian diperoleh adalah berupa:
a.         frekwensi interaksi obat-obat secara keseluruhan.
b.        frekwensi interaksi obat-obat berdasarkan mekanisme interaksi (farmakokinetik, farmakodinamik, dan unknown).
c.         frekwensi interaksi obat-obat berdasarkan level severitas interaksi.
d.        analisis mengenai mekanisme interaksi obat-obat.
e.         manajemen terhadap interaksi obat-obat yang terjadi untuk menghindari risiko interaksi yang dapat merugikan pasien di masa mendatang.
3.2 Tempat dan Waktu
            Penelitian ini dilakukan di RSIM Bandar Lampung, pada bulan Februaari – Maret 2017

3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
            Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pengobatan pasien ADM tipe 2 rawat inap bagian geriatrik di RSIM Bandar Lampung periode Juli - Desember 2015. Subjek yang dipilih harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah :
a.         rekam medis pasien rawat inap geriatri di RSIM Bandar Lampung periode Juli – Desember 2015
b.        kategori usia pasien ≥ 65 tahun.
c.         mendapat terapi ≥ 2 obat.
d.        kategori semua gender.
Kriteria eksklusi adalah :
a.         rekam medis pasien rawat inap geriatrik di RSIM Bandar Lampung diluar periode Juli-Desember 2015.
b.        mendapat monoterapi obat sehingga tidak dapat diidentifikasi adanya interaksi obat-obat.
c.         rekam medis pasien rawat inap yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).
3.3.2 Sampel
            Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling (acak sederhana). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Krejcie dan Morgan (Krejcie, et al., 1970).

dimana :
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
x2 = nilai Chi kuadrat
P = proporsi populasi
d = galat pendugaan
dengan beberapa asumsi, maka rumus di atas diturunkan lagi menjadi:
           
Populasi target berupa rekam medis pasien rawat inap Geriatrik  selama 6 bulan (Juli - Desember 2015) sebanyak 500 rekam medis, maka jumlah sampel yang diambil menurut rumus diatas sebanyak sebanyak 200 sampel. Jadi pemeriksaan interaksi obat dilakukan melalui pengambilan 200 rekam medis pasien rawat inap Geriatrik di bulan Juli – Desember 2015 di RSIM Bandar Lampung.

3.4 Cara Pengumpulan dan Manajemen Data
Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan rekam medis pasien rawat inap Geriatrik di RSIM Bandar Lampung periode Juli – Desember 2015.
Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:
a. Data rekam medis pasien berdasarkan kriteria inklusi.
b. Data penggunaan obat pasien meliputi data pasien (usia, jenis kelamin, jumlah obat yang diterima) dan data obat (nama obat, jumlah obat, jenis obat, dosis, aturan pakai, cara pemberian, dan lama pemberian).
c. Data berdasarkan diagnosa penyakit.
d. Data berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi dalam satu resep yang tercatat didalam rekam medis pasien berdasarkan studi literatur.
3.5  Definisi Variabel Penting
a. Jenis obat adalah obat yang berinteraksi.
b.Tingkat keparahan interaksi obat adalah mayor, moderate, dan low.
c. Jumlah obat adalah banyakny item obat yang diberikan dalam satu resep yang tercatat didalam rekam medis.
d. Jumlah diagnosis adalah banyaknya diagnosis yang ditulis dalam rekam medis pasien yang terdiri dari diagnosa utama, sekunder, dan komplikasi.
e. Frekwensi interaksi adalah jumlah kasus interaksi obat-obat yang terjadi.
f. Mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah secara farmakokinetik, farmakodinamik atau unknown.
g. Mekanisme interaksi unknown adalah interaksi obat yang mekanismenya belum diketahui secara pasti.
h.Mekanisme interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi
i.Mekanisme interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana suatu obat menginduksi perubahan dalam respon pasien terhadap obat.
j. Interaksi dengan tingkat keparahan low/minor adalah jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian.
k.Interaksi dengan tingkat keparahan moderate adalah jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering diperlukan.
l.Interaksi dengan tingkat keparahan major jika terdapat kemungkinan tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk yang menyangkut nyawa pasien dan kerusakan permanen.
m.Rekam medik yaitu berkas yang diberisikan catatan dan dokumen tentang   identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama di rawat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat inap.

3.6 Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk Tabel, kemudian dianalisis secara statistik deskriptif.
Variabel bebas
Variabel terikat
Metode Analisa
Jumlah obat
Interaksi Obat
Korelasi Bivariat Spearman
Usia
Interaksi Obat
Korelasi Bivariat Spearman
Jenis Kelamin
Interaksi Obat
Uji Komparatif Mann Whitney
Jumlah diagnosis
Interaksi Obat
Korelasi Bivariat Spearman


Persetujuan Komite Etik
 
3.7  Bagan Alur Penelitian





                                              Gambar 1.2 Bagan Alur Penelitian






DAFTAR PUSTAKA

Bailie, G.R., Johnson, C.A., Mason, N.A., dan Peter, W.L. (2004). Medfacts Pocket Guide of Drug Interactions. Edisi II. Nephrology Pharmacy Associates. Halaman 1-6.

Baxter, K. (2008). Stockley’s Drug Interactions: A Source Book of Interactions, Their Mechanisms, Clinical Importance and Management. Edisi VII. Great Britain : Pharmaceutical Press. Halaman 1, 3.

Cipolle, R.J., Strand, L.M., dan Morley, P.C. (2007). Drug Therapy Problems.  Dalam: Pharmaceutical Care Practice: The Clinician's Guide. Edisi II. New York: McGraw-Hill Companies. Chapter 7.

Brophy, Gehr, 2005. Renal Disorders: Disorders of Potassium and Magnesium Homeostasis. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach-Dipiro. United States: The McGraw-Hill Companies.

Darmojo, 2009. Teori Proses Menua. Dalam Buku: Martono HH dan Pranarka K, Editor. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 3.


Depkes RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 6,8.

Hashem, G. (2005). Drug-Drug Interactions.Department of Pharmacology.Faculty of Medicine. Cairo University. Halaman 3, 46-47.

Howrie, D.L. dan Schmitt C.G. (2008). Clinical Pharmacokinetics: Applications in Pediatric Practice. Dalam: Handbook of Pediatric Cardiovascular Drugs. Editor: Ricardo Munoz, Carol G. Schmitt, Stephen J. Roth, dan Eduardo da Cruz. London: Springer. Halaman 30.

Mallet, Spinewine, Huang, 2007. Prescribing In Elderly People 2. The challenge of managing drug interactions in elderly people, 185-191.

Martono, 2009. Pelayanan Kesehatan Pada Usia Lanjut. Dalam Buku: Martono HH dan Pranarka K, Editor. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 709.

Martono, 2009. Pelayanan Kesehatan Pada Usia Lanjut. Dalam Buku: Martono HH dan Pranarka K, Editor. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 709.


Rahmawati, F., Handayani, R., Gosal, V. (2006). Kajian Retrospektif Interaksi Obat di Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sardjito Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia, 17(4): 177-183.

Setiati, Harimurti, Roosheroe, 2006. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Dalam Buku: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1335.

Storm, B.L., Kimmel, S.L (2006). Text Book of Pharmacoepidemiology. London: John Willey And Sons Ltd. Halaman 19-20

Supartondo, Roosheroe, 2006.Pedoman Memberi Obat Pada Pasien Geriatri Serta Mengatasi Masalah Polifarmasi. Dalam Buku: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1427.

Thanacoody, 2012. Drug Interactions. Dalam Buku: Walker R dan Whittlesea, Editor. Clinical Pharmacy and Therapeutics. Fifth Edition. London: Churchill Livingstone Elsevier, 50, 51, 57, 58, 59, 119-131.

Tatro DS. (2001). Drug Interaction Facts, 5th Edition, St Louis Missouri: A Wolters Kluwer Company.

















SUMBER BIAYA

A.    Seluruh biaya untuk kepentingan pendidikan dan penelitian ditanggung oleh Yayasan Babtis Indonesia, Rumah Sakit Imanuel Way Halim Bandar Lampung.
B.     Bersama ini kami lampirkan surat rekomendasi dari direktur Rumah Sakit Imanuel Way Halim Bandar Lampung